Kamis, 17 April 2008

Dari permainan tradisional ke layar komputer

Ruang dalam konteks sosialkultural memiliki makna tidak hanya sebagai sarana berkegiatan, tetapi lebih dari itu, sebagai tempat interaksi dengan segenap pola yang unik dan khas(Barker, Chris, 2005). Secara sederhana kita bisa mengambil contoh seorang anak, yang bermain layang-layang di suatu sore di sebuah lapangan bersama teman-temannya. Dapat dibayangkan berapa banyak ruang sosial dengan segenap aktivitas lain yang dilaluinya. Ketika hendak keluar rumah, dia berpapasan dengan anggota keluarga yang lain, di perjalanan dia melintasi ibu-ibu yang sedang duduk di beranda sambil menyuapi bayinya dengan bubur, orang-orang yang berjalan lunglai sehabis bekerja, atau pedagang mie ayam yang mendorong gerobaknya, hingga akhirnya sang anak sampai di lapangan dan bermain. Dan setiap perlintasan itu akan membentuk pola interaksi yang berbeda dalam ruang kultural.
Namun belakangan terjadi perubahan dimana ruang riil mulai tergantikan oleh ruang maya lewat berbagai produk teknologi informasi yang berkembang sedemikin pesat. Solusi imajiner yang dijelaskan Baudrillard mungkin bisa cukup menjelaskan tentang hal ini. Solusi imajiner dapat diartikan sebagai sebuah proses menjadikan sesuatu yang nonempiris, tak mengobjek atau non objektif lewat kecanggihan teknologi simulasi, sedemikian rupa dapat disimulasikan sehingga menjadi sebuah fakta objektif, yaitu fakta yang dapat dilihat, dirasakan, dialami, dimasuki, didiami meskipun ia bukan apa yang dalam fisika disebut sebagai benda yang terdiri dari zat atau partikel (Piliang, Yasraf Amir , 2004:hal.69). Perubahan moda produksi dari komoditas benda menjadi tanda menghasilkan sebuah bentuk konsumsi tontonan. Massa kemudian menginginkan diferensi tontonan yang tidak lagi mungkin dihasilkan hanya lewat mimesis atau representasi realitas, mitos dan ideologi karena hal itu hanya akan membosankan. Karena itu diferensi dalam tontonan hanya dapat diproduksi melalui penyangkalan dunia nyata dengan cara mengubah fantasi, ilusi, fiksi menjadi tampak nyata melalui produksi dan reproduksi simulasi (Piliang, Yasraf Amir, 2003: hal. 147).

Game Online dan Celah Bagi Ruang Geografis dalam Interaksi Sosial.
Saat ini kita menjumpai begitu banyak aktivitas yang bisa dilakukan tanpa harus melintasi ruang-ruang yang biasanya dilalui. Berbagai kegiatan dapat dilakukan di rumah karena sedemikian lengkapnya layanan teknologi yang diciptakan untuk memenuhi segenap hasrat manusia. Krishan Kumar (1997) bahkan menjelaskan bagaimana slogan “return to home” belakangan kembali populer, ketika ruang publik semakin menyempit, dan teknologi telah sebisa mungkin dibuat untuk membantu pemangkasan ruang riil. Kenikmatan-kenikmatan dan representasi kehidupan urban kontemporer makin banyak yang berasal dari sebuah kebudayaan elektronik yang terus tumbuh, seperti film, televisi, mainan-mainan realitas virtual, dll. Inilah sebuah budaya yang benar-benar termediakan dimana ruang-ruang interaksi sosial dan kultural dipisahkan dari tempat-tempat sosial dan geografis yang spesifik (Barker, Chris, 2005).
Namun pertanyaan selanjutnya, apakah pemisahan semacam ini berlaku sepenuhnya dalam perkembangan teknologi semisal game online khususnya di Indonesia? Apakah teknologi semacam ini benar-benar membawa konsumennya pada taraf pemotongan ruang geografik menuju ruang maya?
Jika dilihat dari sudut pandang realitas yang diciptakan, dimana simulasi telah menciptakan realitas lain tanpa rujukan, terlihat jelas bahwa game online menawarkan sebuah solusi imajiner seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun ada hal menarik yang dapat dicermati khususnya dalam fenomena game online terutama dikalangan anak-anak. Dalam beberapa kondisi, game online ternyata malah menjadi tempat sosialisasi yang riil bagi anak-anak. Kondisi yang dimaksudkan terutama terlihat pada mereka yang mengakses game online lewat persewaan internet. Ketika anak-anak bergerombol ke warung internet atau tempat-tempat yang menyediakan layanan khusus game online, maka terjadi pola interaksi yang melibatkan ruang geografis, dan menempuh apa yang disebut realitas alamiah. Hanya saja, sarana yang digunakan (game online) adalah suatu simulasi.
Ruang geografis dalam interaksi sosial yang biasanya terpangkas oleh teknologi sepertinya tidak sepenuhnya berlaku dalam kondisi ini. Terlepas dari bagaimana pola, kondisi maupun kualitas pergaulan anak-anak tersebut, game online ternyata menjadi alternatif bagi anak-anak yang ruang bermain mereka mulai tergusur, khususnya di kawasan perkotaan. Sebenarnya pola pergaulan seperti ini juga terjadi pada permainan lain semacam play station. Namun dalam posisi ini game online telah menjadi sarana berkumpul yang lebih efektif bagi anak-anak ketimbang produk teknologi yang lain seperti televisi atau play station, mengingat yang terakhir ini dapat dengan mudah ditemukan di rumah-rumah. Ini berarti, untuk mendapatkannya orang-orang (yang tidak memiliki fasilitas tersebut) harus mencarinya keluar rumah. Dengan demikian, perkembangan teknologi pada satu sisi memotong satu ruang sosial sementara pada sisi lain menciptakan ruang sosial yang lain.

Vita Febrina (21270)


Daftar Pustaka
Barker, Chris, 2005, Cultural Studies, terj. Tim Kunci Cultural Studies Center, Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka
Kumar, Krishan, 1997, Home: The Promise and Predicamentof Private Life at the End of the Twentieth Century dalam Jeff Weintraub and Krishan Kumar, ed. Private and Public in Thought and Practice.
Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hypersemiotika, tafsir cultural studies atas matinya makna, Yogyakarta: Jalasutra
--------------------------, 2004, Posrealitas :Realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika, Yogyakarta: Jalasutra

Tidak ada komentar: